Perempuan, dalam Kisah Semalam.

    



            Redam. Beberapa buah lilin beragam warna mulai redam, napasku membunuh sinar kecil itu dalam kegelisahan. Aku sedang berdiam di teras, melepas pandang pada angin serta sisa-sisa lelah yang habis pasrah ditelan malam. Bandung kadang tak bersahabat—aku tak suka, terlebih soal kesepian yang mulai menceracam, ia dalangnya. 

           Masuk dini hari, tepat sewindu sudah kala bunda meninggalkan surat permohonan maafnya di nakas, membawa barangnya pergi tepat di hari jadi anaknya ini. Aku tidak marah, tidak pernah. 

        Dedaunan yang terjun dari pohon rindang mulai bergesekan, berlarian mengejar kawanannya yang digusur angin. Sangat banyak, suaranya berbisik nyaring sampai di tempat aku tergagu, di kursi jati tua tanpa busana yang dulu selalu ayah idamkan. Barangkali kalian bertanya kemana ia pergi, jawabnya ya menyusul bunda. Kisah kasih mereka romantis sekali, bukan? 

        Ayunan tua di samping berayun pelan; membawaku terbang; tak sedikitpun mengelak dingin yang membidik kepala. Ada seribu hal berisik yang ingin kuceritakan, tapi kepada siapa dan untuk apa, aku tak benar-benar mengerti. Itu membuatku terjaga menemani malam, di dua puluh lima terakhir, sampai merenggut kemampuanku untuk bernalar. 

            Ah, iya ... Rumah, adalah satu selip dari seribu arsip yang mungkin akan kubuka sekarang. Rumahku berubah, bukan rumah sebenarnya yang kukenal saat suasana masih hangat. Saksi renta saat aku bertumbuh itu tampak tak ikhlas, apabila ruang-ruang antiknya dibiarkan kosong sebab hanya aku yang masih bertahan. Banyak yang pergi akhir-akhir ini. 

            Jalan kecil yang diterangi lampu, pohon mangga rimbun yang menyentuh kabel, pagar yang mulai tua dan berkarat, hingga sukaria penuh tawa milik tetangga yang terdengar hingga rumahku pun perlahan beranjak, meninggalkan aku dan Pak No—tukang kebun yang juga turut termenung. Aku berayun semakin kencang, menyerap pilu dari antah berantah yang jadi alasanku untuk menjenguk kediaman ini. 

            Buku harian biru tua milikku berpuisi banyak soal hujan di langit cerah, yang dulu menjadi alasan bunda untuk tersenyum walau aku tak melihat matanya. Anganku terbawa kembali pada amukan kenangan itu, ada bunda sedang tersedu, memeluk tubuhku yang berbaring santai di kasur. Dan aku cuma menikmati penghabisan usia.

Komentar